Hampir satu dasawarsa aku tertanam di
sini. Musim demi musim yang kulewati menjadi kenangan dalam hidupku. Banyak
yang telah kulihat, kurasa. Aku ingat malam pertama ku ditanam di sini. Di
sini? Ya aku berada di suatu tempat yang mereka namakan panti asuhan. Aku rasa
itu adalah suatu tempat untuk menitipkan seorang anak dalam waktu yang lama,
malam pertama ku disini saja sudah membuktikannya. Malam itu cerah, dan kulihat
seorang wanita muda membawa bayi dengan pipi merahnya. Kupikir ia datang untuk
berkunjung atau apalah, tetapi entah mengapa ia meletakan bayi itu di depan
pintu dan meninggalkannya. Langkah perempuan itu cepat, saat ia memalingkan
wajah, kulihat ia, menangis.
Kejadian
itu terulang selama 12 kali dalam tahun pertama ku. Bayi-bayi mungil itu tumbuh
besar, dan mereka, kupikir, sudah cukup besar untuk dibilang anak 9 tahun.
Beberapa dari mereka juga lebih besar.
Anak-anak
yang lebih besar menggunakan dahanku untuk membuat ayunan. Ya maklumlah, aku
termasuk pohon paling kuat di sini-bukannya aku bermaksud untuk sombong-. Lalu
mereka, yang lebih kecil, menaiki ayunan bergantian, memanjat dahanku, dan
berteriak seolah-olah aku-sebagai pohon- ini milik mereka.
Aku,
aku selalu ada di sini. Dikala musim panas menyinari dan dikala musim hujan menyirami.
Aku tahu aku senang. Aku sangat, sangat bersyukur aku ada di sini. Bersama
mereka. Bersama anak-anak kecil yang semakin tumbuh dewasa. Kurasa mereka telah
mewarnai hari-hariku.
Malam
itu malam yang gelap. Tak ada bulan atau satu pun bintang. Mungkin sudah
sekitar jam 10 malam saat kulihat seorang anak cewek-yang ditinggalkan di depan
pintu pada 5 tahun yang lalu- kira-kira 13 tahun menghampiriku. Tubuhnya masih
terbalut piyama khas panti asuhan dan di tangannya yang kecil ia memegang
sebuah tali.
Ia
berjalan mendekatiku sembari sesekali melirik ke belakang, melihat panti. Mata
nya seperti bintang yang bersinar, seolah-olah menatap mataku. Dan saat ia
menutup mata, bibirnya berkedut dan kurasa sebutir air kristal jatuh dari
matanya.
“it's
okay.” Dia berkata dengan suara tersendat, “but i’m scared”
Sekali lagi, air itu jatuh dari
matanya dan diikuti oleh air lainnya.
Terakhir kali aku melihat itu adalah
10 tahun yang lalu, saat malam pertamaku di sini. Dan kupikir anak itu sedang,
menangis.
Ia memanjat batang dan merayap ke
batangku yang kira-kira tingginya 2 meter dari tanah. Anak perempuan manis itu
mengaitkan tali yang ia bawa ke dahan ku-dengan keras- dan membentuk sebuah
lingkaran yang cukup besar untuk memasukan kepalanya.
Dia
kenapa sih? Tanya ku berkali-kali dalam hati. Kan ini udah malem, kenapa ya dia gak bisa nunggu sampai besok aja
mainnya?
Dia kembali turun dan menaruh bangku
tinggi persis di bawah tali gantungan itu. Setelahnya ia kembali naik ke batang
ku.
Kira-kira selama 5 menit ia menatap
panti. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Sampai akhirnya ia berhati-hati turun
dan langsung menginjak bangku tinggi itu. Setelah berkali-kali menghapus air
kristal dari matanya ia memasukan kepala mungilnya ke dalam lingkaran tali.
“This just a thing that i wont regret.
I never knew who my parents were. Oh God, oh please, j-ju-just forgive me.”
Lalu ia melompat dari bangku. Tangan
nya menggeliat memegang tali yang kurasa mencekik lehernya. 3 menit, kurasa 3
menit ia melakukan itu. Aku, aku ingin menolongnya! Tapi, yah, kurasa ia
melakukan sesuatu yang disebut gantung diri, dan berhasil.
Tahun-tahun berlalu dari kejadian itu.
Sangat, sangat jarang ada anak-anak yang mau bermain di dahan ku lagi. Mereka
lebih memilih ayunan tua di bagian lain taman. Aku bosan. Sungguh! Rasanya
tidak ada yang memperdulikanku lagi.
Saat itu malam yang gelap sangat,
sangat gelap. Gemuruh petir menyambar di mana-mana. Hujan menyirami ku. Badai
petir, pikirku. Lalu, dengan sangat-sangat cepat, halilintar yang membuat
langit kelihatan orange, menyambarku. Dengan sepersekian detik dahan ku patah,
batang ku roboh, aku hancur. Tugasku.sudah.selesai.
No comments:
Post a Comment